Polemik Nasab Baalawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW semakin memanas. Tokoh ulama seperti KH Imaduddin Utsman Al-Bantani mempertanyakan keaslian nasab tersebut, sementara Rabithah Alawiyah bertentangan dengan pendapat KH Imad. Dengan perbedaan yang semakin melebar, sejumlah pihak menilai pentingnya mediasi untuk mencegah konflik di tengah umat Islam.
Isu mengenai keabsahan nasab Ba’alawi, keturunan yang diyakini sebagai penerus silsilah Nabi Muhammad SAW, terus menjadi sorotan. Sebagian pihak meragukan keaslian nasab ini, sementara pihak lainnya mempertahankan bahwa keturunan Ba’alawi tersambung langsung hingga Rasulullah SAW. Pandangan yang bertolak belakang ini muncul dalam berbagai platform media, bahkan melibatkan ulama ternama di Indonesia, yang mengedepankan pandangan berbeda namun tetap menghormati satu sama lain.
Salah satu ulama yang mempertanyakan nasab Ba’alawi adalah KH Imaduddin Utsman Al-Bantani. Menurutnya, ada keraguan terkait keaslian nasab keturunan Ba’alawi sebagai bagian dari dzurriyah Rasulullah SAW. Di sisi lain, organisasi Rabithah Alawiyah yang selama ini mendata nasab Ba’alawi memberikan tanggapan yang membela keaslian nasab tersebut.
Komentari Polemik Nasab Baalawi, Buya Yahya dan Prof. Quraish Shihab Beri Perspektif Menyejukkan


Prof. Quraish Shihab, ulama sekaligus cendekiawan Muslim, menegaskan bahwa perbedaan pandangan mengenai nasab bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Dalam pandangannya, ada disiplin ilmu tersendiri yang mempelajari garis keturunan atau nasab. “Orang boleh berbeda pendapat mengenai apakah seseorang termasuk dalam keturunan Rasulullah atau tidak. Yang lebih penting adalah menunjukkan akhlak dan ilmu,” ujarnya. Prof. Quraish menekankan pentingnya menjaga akhlak, bukan hanya mengklaim keturunan tanpa menunjukkan perilaku yang mencerminkan ajaran Nabi.
Buya Yahya, seorang ulama kharismatik asal Cirebon, turut menanggapi polemik ini. Menurutnya, dzurriyah atau keturunan Nabi Muhammad SAW adalah nasab yang mulia, dan sebagai umat Muslim, ada kewajiban untuk menghormati keturunan Nabi. Buya Yahya mengingatkan agar umat Islam tidak mudah memutuskan atau menafikan nasab seseorang, apalagi jika itu terkait dengan keluarga Nabi.
“Kita perlu memahami persoalan ini dengan ilmu dan etika. Jangan sampai ada kebencian terhadap ahli bait Rasulullah,” pesan Buya Yahya. Beliau juga mengingatkan bahwa setiap keluarga yang menyatakan memiliki nasab kepada Nabi memiliki hak untuk diakui, kecuali jika terbukti ada kepalsuan yang nyata. Dalam hal ini, kata Buya Yahya, sangat penting untuk membangun rasa saling menghormati di antara sesama Muslim.
Pentingnya Mediasi dalam Polemik Nasab Baalawi
Perbedaan pandangan ini dianggap perlu diredam agar tidak semakin melebar dan menimbulkan perpecahan di tengah umat. Dengan demikian, pentingnya mediasi antara kedua kubu semakin dirasakan. Beberapa ulama mengusulkan adanya pertemuan atau diskusi terbuka yang difasilitasi oleh pihak netral. Mediasi ini bertujuan untuk meredam ketegangan dan menjaga adab dalam berdiskusi, khususnya mengenai isu yang sensitif seperti nasab keturunan Rasulullah SAW.
“Adab dan etika adalah landasan utama dalam menyampaikan pendapat, terutama dalam persoalan yang melibatkan silsilah keturunan Nabi,” kata Buya Yahya. Menurutnya, menjaga persatuan umat harus menjadi prioritas utama, bahkan jika terdapat perbedaan pandangan. Mediasi diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung untuk mengurangi polemik yang semakin memanas, sekaligus memberikan ruang bagi kedua belah pihak untuk mengemukakan pendapat dengan sikap yang santun.
Mengedepankan Akhlak dan Etika dalam Berdiskusi
Salah satu pesan penting dari polemik ini adalah pentingnya mengedepankan akhlak dan etika dalam setiap perbedaan pendapat. Bagi Prof. Quraish Shihab, menonjolkan akhlak dan ilmu jauh lebih penting daripada sekadar mengklaim garis keturunan. Beliau bahkan mencontohkan Salman al-Farisi, sahabat Nabi yang bukan keturunan darah namun diakui sebagai keluarga Nabi berkat akhlaknya yang luar biasa.
Di sisi lain, Buya Yahya berpesan agar umat Islam tetap menunjukkan rasa cinta kepada dzurriyah Nabi Muhammad SAW, bahkan jika di antara mereka ada yang menunjukkan perilaku kurang baik. “Kadang, ada yang tergelincir dalam akhlak, bukan berarti kita harus membenci, melainkan lebih baik berusaha membawa mereka kembali kepada kebenaran,” tambahnya.
Menjaga Persatuan Umat di Tengah Perbedaan Pandangan
Kehadiran pihak yang mempertanyakan nasab Ba’alawi dan pihak yang mempertahankan keaslian nasab ini harus dilihat sebagai bagian dari keberagaman pemikiran di dalam Islam. Dalam hal ini, menjaga persatuan umat di tengah perbedaan pandangan menjadi sangat penting. Kedua belah pihak perlu mengedepankan sikap saling menghormati dan adab dalam mengemukakan pendapat, agar perbedaan ini tidak menimbulkan perpecahan di kalangan umat Muslim.
Dengan demikian, polemik nasab Baalawi ini dapat menjadi momentum untuk membangun diskusi yang lebih dewasa, saling menghormati, dan mengedepankan akhlak. Menghadapi perbedaan dengan adab, ilmu, dan etika adalah cara terbaik untuk menjaga persatuan di tengah keberagaman pendapat di kalangan umat Islam.
Pada akhirnya, perbedaan pandangan mengenai nasab Ba’alawi harus disikapi dengan sikap legowo dan saling menghormati. Keduanya perlu menyampaikan pendapat tanpa terjebak dalam ego masing-masing, tetapi lebih pada tujuan untuk saling melengkapi dan memperkaya keberagaman ilmu pengetahuan, baik yang bersifat umum maupun agama. Pihak yang menentang nasab Ba’alawi harus tetap mengedepankan ilmu dan kesantunan dalam menyampaikan pendapat. Sementara itu, pihak yang mempertahankan nasab Ba’alawi harus rela dan ridhlo jika secara ilmiah ada yang menyatakan bahwa nasab mereka tidak terhubung langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Yang terpenting, umat Islam harus berlomba-lomba mengamalkan serta menunjukkan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW, karena akhlak yang baik jauh lebih utama daripada sekadar memperdebatkan atau mengklaim dzurriyah Rasulullah SAW.
Editor: Zick Keen
Sumber: Pandangan Adem KH Quraish Shihab dan Buya Yahya
